![](http://l.yimg.com/bt/api/res/1.2/_Rj.GzGjtHBH0vOtERSn7A--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYwMA--/http://l.yimg.com/dh/ap/default/131107/AS_roma_getty_giuseppe_bellini_900.jpg)
Kiprah AS Roma di awal musim 2013/2014 sungguh luar biasa. Klub ibukota Italia ini sukses meraih sepuluh kemenangan dari sebelas pertandingan awal Serie A. Anak asuhan Rudi Garcia ini tampil perkasa dengan mencetak 25 gol dan hanya kebobolan dua gol. Perolehan 31 poin dari 11 pertandingan awal Serie A menjadi rekor tersendiri. Di jajaran liga top Eropa, hanya Barcelona yang menyamai perolehan poin tersebut musim ini.
Prestasi Roma musim ini bisa dibilang kejutan jika melihat kiprah mereka di bursa transfer. Tiga pemain penting Pablo Osvaldo, Marquinhos serta Erik Lamela hengkang dari markas Giallorossi. Manajer Umum Franco Baldini pindah ke Tottenham Hotspurs. Ditambah fakta bahwa mereka ditangani Rudi Garcia yang sama sekali tak berpengalaman di Serie A semakin menambah keraguan bahwa Roma akan berprestasi di Serie A.
Nyatanya setelah dua bulan Garcia dianggap sebagai sosok jenius yang menginspirasi kebangkitan Roma. Mantan pelatih Lille ini dianggap mampu mengeluarkan potensi terbaik pemainnya. Publik Olimpico pun mulai bermimpi klub kesayangan mereka akan meraih scudetto pertama dalam 13 tahun terakhir.
Sebuah fenomena langka melilhat kesebelasan yang ditinggal sejumlah pemain penting dan ditangani pelatih baru bisa langsung tampil perkasa. Terlebih melihat fakta bahwa Garcia adalah pelatih keenam Roma dalam tiga tahun terakhir. Hal yang sering dikaitkan dengan tidak adanya stabilitas dalam tim.
Namun jika melihat apa yang terjadi dalam dua tahun terakhir, fenomena pergantian pelatih di Roma lebih cocok dikaitkan dengan komitmen manajemen membangun tim yang atraktif. Komitmen yang terlihat dari pemilihan pelatih selama dua tahun terakhir.
Cita-cita Thomas DiBenedetto saat mengambil alih Roma adalah menjadikan permainan Il Lupiatraktif. Keinginan tersebut diwujudkannya dengan mendatangkan Luis Enrique ke Olimpico pada 2011. Mantan pelatih Barcelona B ini dianggap sebagai Guardiola baru, pelatih muda yang menyukai sepak bola menyerang nan atraktif.
Roma di masa Enrique pun sangat kentara dengan nafas tiki-taka. Bermain dengan skema 4-3-3, Roma mencatat rata-rata penguasaan bola hingga 60%, hanya kalah dari Juventus sang Scudetto. Mereka juga mencatat jumlah tembakan kedua terbanyak di Serie A, lagi-lagi kalah dari Juventus. Namun sayang catatan tersebut tak mampu mengangkat prestasi Il Lupi. Roma harus puas berada di posisi tujuh klasemen akhir.
Hanya setahun menangani Roma, Enrique mundur di penghujung musim 2011/2012. Manajemen Roma menunjuk pelatih eksentrik Zdenek Zeman untuk menggantikannya. Filosofi menyerang Zeman memang sejalan dengan visi manajemen klub, namun fakta di lapangan berkata lain. Sepak bola Zemanlandia memang membuat serangan Roma menakutkan, namun berakibat keroposnya pertahanan Roma. Klub yang berdiri pada 1927 ini gagal bersaing di papan atas, hal ini memaksa manajemen memecat Zeman di pertengahan musim.
Gagal mengangkat prestasi klub bersama Enrique dan Zeman, manajemen Roma berpaling ke Rudi Garcia. Serupa dengan Enrique dan Zeman, pelatih asal Prancis ini juga dikenal menyukai sepak bola menyerang. Namun berbeda dengan dua pelatih sebelumnya, Garcia telah mengantongi gelar juara di level atas.
LOSC Lille dibawanya meraih gelar ganda Ligue 1 dan Coupe de France 2010/2011. Raihan dua trofi serta keberhasilannya mengorbitkan pemain-pemain seperti Eden Hazard, Gervinho serta Yohan Cabaye membuatnya terpilih menjadi pelatih terbaik Prancis 2011.
Sebagai pelatih yang menyukai skema 4-3-3 Garcia sungguh beruntung bekerja di Roma. Para pemain Roma yang dalam dua musim terakhir bermain dengan pola tersebut tentu akan cepat memahami keinginan pelatih baru mereka. Hasilnya langsung terlihat, pola 4-3-3 yang dimainkan Garcia sukses mengantar Roma ke puncak klasemen.
Selain posisi Roma di puncak klasemen, rekor gol mereka pun pasti membuat manajemen senang. Mencetak 25 gol dan hanya kebobolan dua gol dalam sebelas pertandingan tak akan dicapai bersama Luis Enrique atau Zdenek Zeman. Dalam sosok Garcia manajemen Roma tak hanya menemukan sosok pelatih yang cocok dengan filosofi klub, namun juga mampu memperbaiki masalah di lini belakang.
Berbeda dengan paham Zdenek Zeman yang seolah membiarkan dua bek tengah bertahan sendirian, Roma racikan Garcia bertahan sebagai satu tim. Roma kini cenderung bertahan lebih ke dalam. Dua pemain sayap tak jarang terlihat turun ke belakang membantu pertahanan.
Kehadiran Mehdi Benatia turut memperkuat pertahanan Roma. Bek yang didatangkan dari Udinese ini dikenal jago duel udara dan jeli membaca permainan. Benatia tercatat sebagai pemain Roma yang paling banyak memenangi duel udara. Ia juga tercatat sebagai pemain Roma yang paling banyak memotong umpan.
Perubahan strategi bertahan serta kehadiran Mehdi Benatia langsung membuahkan hasil. Dalam sebelas pertandingan Roma menjadi tim kedua yang paling sedikit menerima tembakan. Bahkan situsWhoscored.com mencatat dari total tembakan yang mengarah ke gawang De Sanctis hanya 32% berasal dari dalam kotak penalti. Prosentase terkecil di Serie A.
Perubahan di lini belakang ini tak mengurangi daya gedor Roma. Catatan 25 gol mereka musim ini hanya kalah dari Inter Milan. Roma pun mencatat jumlah tembakan akurat terbanyak kelima di Serie A. Dan yang paling penting rata-rata penguasaan bola 60% menunjukkan bahwa Roma tak kehilangan kemampuan menguasai permainan.
Menariknya catatan tersebut diraih dengan lima pemain baru di daftar pemain inti. Tiga diantaranya sering dikritik penampilannya musim lalu. Kemampuan Garcia meramu taktik berhasil membangkitkan karir Gervinho, Maicon serta Morgan De Sanctis. Garcia memang tahu bagaimana memaksimalkan potensi pemainnya.
Selain kemampuannya meramu taktik, hal menarik lain dari pelatih kelahiran Nemours ini adalah kemampuannya berinteraksi dengan para pemain. Tak seperti Zeman yang sering mengkritik pemainnya sendiri, Garcia lebih tertutup jika menyangkut urusan kamar ganti. Kemampuan Garcia dalam berinteraksi dengan para pemain ini disebut-sebut sebagai faktor kunci kebangkitan Roma. Kapten tim Francesco Totti tak segan-segan mengungkapkan kekagumannya pada Garcia.
Hal menarik lain di luar lapangan adalah bagaimana Garcia menghadapi media massa. Saat ditanya mengenai rekor kemenangan beruntun Roma, Garcia hanya menjawab bahwa tim asuhannya belum sempurna dan ia tak mau memikirkan rekor. Komentar tersebut seperti mengindikasikan bahwa Garcia ingin pemainnya tetap fokus.
Melihat produktivitas Roma tanpa Totti wajar jika Garcia menyebut anak asuhannya belum sempurna. Di tiga pertandingan tanpa Totti, Roma hanya mampu mencetak masing-masing satu gol. Sementara dalam delapan pertandingan bersama Totti, Roma setidaknya mencetak dua gol di tiap pertandingan.
Serie A sendiri belum genap sepertiga perjalanan dan tak ada yang menjamin Roma bisa konsisten sampai akhir musim. Tak jarang mereka yang terseok-seok di awal justru secara mengejutkan meraih gelar juara.
Garcia nampaknya menyadai hal ini dan ia tak mau membahas peluang Roma meraih Scudetto ke-empat. ”Scudetto? Kita masih di pekan kesepuluh. Masih ada waktu untuk sprint terakhir.” Kata Garcia dilansir forzaitalianfootball.com.
Prestasi Roma musim ini bisa dibilang kejutan jika melihat kiprah mereka di bursa transfer. Tiga pemain penting Pablo Osvaldo, Marquinhos serta Erik Lamela hengkang dari markas Giallorossi. Manajer Umum Franco Baldini pindah ke Tottenham Hotspurs. Ditambah fakta bahwa mereka ditangani Rudi Garcia yang sama sekali tak berpengalaman di Serie A semakin menambah keraguan bahwa Roma akan berprestasi di Serie A.
Nyatanya setelah dua bulan Garcia dianggap sebagai sosok jenius yang menginspirasi kebangkitan Roma. Mantan pelatih Lille ini dianggap mampu mengeluarkan potensi terbaik pemainnya. Publik Olimpico pun mulai bermimpi klub kesayangan mereka akan meraih scudetto pertama dalam 13 tahun terakhir.
Sebuah fenomena langka melilhat kesebelasan yang ditinggal sejumlah pemain penting dan ditangani pelatih baru bisa langsung tampil perkasa. Terlebih melihat fakta bahwa Garcia adalah pelatih keenam Roma dalam tiga tahun terakhir. Hal yang sering dikaitkan dengan tidak adanya stabilitas dalam tim.
Namun jika melihat apa yang terjadi dalam dua tahun terakhir, fenomena pergantian pelatih di Roma lebih cocok dikaitkan dengan komitmen manajemen membangun tim yang atraktif. Komitmen yang terlihat dari pemilihan pelatih selama dua tahun terakhir.
Cita-cita Thomas DiBenedetto saat mengambil alih Roma adalah menjadikan permainan Il Lupiatraktif. Keinginan tersebut diwujudkannya dengan mendatangkan Luis Enrique ke Olimpico pada 2011. Mantan pelatih Barcelona B ini dianggap sebagai Guardiola baru, pelatih muda yang menyukai sepak bola menyerang nan atraktif.
Roma di masa Enrique pun sangat kentara dengan nafas tiki-taka. Bermain dengan skema 4-3-3, Roma mencatat rata-rata penguasaan bola hingga 60%, hanya kalah dari Juventus sang Scudetto. Mereka juga mencatat jumlah tembakan kedua terbanyak di Serie A, lagi-lagi kalah dari Juventus. Namun sayang catatan tersebut tak mampu mengangkat prestasi Il Lupi. Roma harus puas berada di posisi tujuh klasemen akhir.
Hanya setahun menangani Roma, Enrique mundur di penghujung musim 2011/2012. Manajemen Roma menunjuk pelatih eksentrik Zdenek Zeman untuk menggantikannya. Filosofi menyerang Zeman memang sejalan dengan visi manajemen klub, namun fakta di lapangan berkata lain. Sepak bola Zemanlandia memang membuat serangan Roma menakutkan, namun berakibat keroposnya pertahanan Roma. Klub yang berdiri pada 1927 ini gagal bersaing di papan atas, hal ini memaksa manajemen memecat Zeman di pertengahan musim.
Gagal mengangkat prestasi klub bersama Enrique dan Zeman, manajemen Roma berpaling ke Rudi Garcia. Serupa dengan Enrique dan Zeman, pelatih asal Prancis ini juga dikenal menyukai sepak bola menyerang. Namun berbeda dengan dua pelatih sebelumnya, Garcia telah mengantongi gelar juara di level atas.
LOSC Lille dibawanya meraih gelar ganda Ligue 1 dan Coupe de France 2010/2011. Raihan dua trofi serta keberhasilannya mengorbitkan pemain-pemain seperti Eden Hazard, Gervinho serta Yohan Cabaye membuatnya terpilih menjadi pelatih terbaik Prancis 2011.
Sebagai pelatih yang menyukai skema 4-3-3 Garcia sungguh beruntung bekerja di Roma. Para pemain Roma yang dalam dua musim terakhir bermain dengan pola tersebut tentu akan cepat memahami keinginan pelatih baru mereka. Hasilnya langsung terlihat, pola 4-3-3 yang dimainkan Garcia sukses mengantar Roma ke puncak klasemen.
Selain posisi Roma di puncak klasemen, rekor gol mereka pun pasti membuat manajemen senang. Mencetak 25 gol dan hanya kebobolan dua gol dalam sebelas pertandingan tak akan dicapai bersama Luis Enrique atau Zdenek Zeman. Dalam sosok Garcia manajemen Roma tak hanya menemukan sosok pelatih yang cocok dengan filosofi klub, namun juga mampu memperbaiki masalah di lini belakang.
Berbeda dengan paham Zdenek Zeman yang seolah membiarkan dua bek tengah bertahan sendirian, Roma racikan Garcia bertahan sebagai satu tim. Roma kini cenderung bertahan lebih ke dalam. Dua pemain sayap tak jarang terlihat turun ke belakang membantu pertahanan.
Kehadiran Mehdi Benatia turut memperkuat pertahanan Roma. Bek yang didatangkan dari Udinese ini dikenal jago duel udara dan jeli membaca permainan. Benatia tercatat sebagai pemain Roma yang paling banyak memenangi duel udara. Ia juga tercatat sebagai pemain Roma yang paling banyak memotong umpan.
Perubahan strategi bertahan serta kehadiran Mehdi Benatia langsung membuahkan hasil. Dalam sebelas pertandingan Roma menjadi tim kedua yang paling sedikit menerima tembakan. Bahkan situsWhoscored.com mencatat dari total tembakan yang mengarah ke gawang De Sanctis hanya 32% berasal dari dalam kotak penalti. Prosentase terkecil di Serie A.
Perubahan di lini belakang ini tak mengurangi daya gedor Roma. Catatan 25 gol mereka musim ini hanya kalah dari Inter Milan. Roma pun mencatat jumlah tembakan akurat terbanyak kelima di Serie A. Dan yang paling penting rata-rata penguasaan bola 60% menunjukkan bahwa Roma tak kehilangan kemampuan menguasai permainan.
Menariknya catatan tersebut diraih dengan lima pemain baru di daftar pemain inti. Tiga diantaranya sering dikritik penampilannya musim lalu. Kemampuan Garcia meramu taktik berhasil membangkitkan karir Gervinho, Maicon serta Morgan De Sanctis. Garcia memang tahu bagaimana memaksimalkan potensi pemainnya.
Selain kemampuannya meramu taktik, hal menarik lain dari pelatih kelahiran Nemours ini adalah kemampuannya berinteraksi dengan para pemain. Tak seperti Zeman yang sering mengkritik pemainnya sendiri, Garcia lebih tertutup jika menyangkut urusan kamar ganti. Kemampuan Garcia dalam berinteraksi dengan para pemain ini disebut-sebut sebagai faktor kunci kebangkitan Roma. Kapten tim Francesco Totti tak segan-segan mengungkapkan kekagumannya pada Garcia.
Hal menarik lain di luar lapangan adalah bagaimana Garcia menghadapi media massa. Saat ditanya mengenai rekor kemenangan beruntun Roma, Garcia hanya menjawab bahwa tim asuhannya belum sempurna dan ia tak mau memikirkan rekor. Komentar tersebut seperti mengindikasikan bahwa Garcia ingin pemainnya tetap fokus.
Melihat produktivitas Roma tanpa Totti wajar jika Garcia menyebut anak asuhannya belum sempurna. Di tiga pertandingan tanpa Totti, Roma hanya mampu mencetak masing-masing satu gol. Sementara dalam delapan pertandingan bersama Totti, Roma setidaknya mencetak dua gol di tiap pertandingan.
Serie A sendiri belum genap sepertiga perjalanan dan tak ada yang menjamin Roma bisa konsisten sampai akhir musim. Tak jarang mereka yang terseok-seok di awal justru secara mengejutkan meraih gelar juara.
Garcia nampaknya menyadai hal ini dan ia tak mau membahas peluang Roma meraih Scudetto ke-empat. ”Scudetto? Kita masih di pekan kesepuluh. Masih ada waktu untuk sprint terakhir.” Kata Garcia dilansir forzaitalianfootball.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar