Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) Jhohannes Marbun mengatakan empat lempeng prasasti dari Banyuwangi yang dijual oleh kolektor Bali diduga berasal dari era Singhasari. Dugaan itu muncul, kata dia, setelah arkeolog Ismail Lutfi menerjemahkan salah satu isi prasasti tersebut melalui foto.
Aksara di prasasti yang kemungkinan asli itu berisi tentang penetapan sima. Sima adalah daerah yang dilarang dimasuki oleh para penikmat kekayaan raja, suatu istilah yang ditujukan bagi para pejabat atau pegawai kerajaan yang dibayar oleh raja. "Keaslian prasasti itu masih membutuhkan penelitian lebih lanjut," kata Jhohanes, Rabu, 6 November 2013.
Empat prasasti dari perunggu itu dijual oleh seorang kolektor asal Bali melalui Internet seharga Rp 20 juta dengan label iklan berjudul Bronze of Prasasti. Iklan tersebut pertama kali diunggah melalui blog pada 5 Oktober 2013.
Menurut Jhohanes, dia sudah menghubungi kolektor Bali berinisial S tersebut. Namun prasasti yang digali di Kecamatan Kalibaru itu ternyata telah dijual kepada seorang kolektor yang acap membeli beragam koleksi untuk dijual kembali kepada tokoh penting di Indonesia.
Padahal, sebelum prasasti itu berpindahtangan, Jhohanes telah melaporkan kasus ini ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. "Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah RI untuk memeriksa pengelola galeri asal Bali itu," kata dia.
Penggalian-penggalian ilegal tersebut, Jhohanes menjelaskan, sering kali terjadi di beberapa wilayah di Jawa Timur. Bali menjadi tujuan penjualan karena selain jarak yang dekat, banyak jaringan kolektor benda cagar budaya, termasuk jaringan ke luar negeri.
Di sisi lain, pengawasan Pemerintah RI terhadap penggalian-penggalian ilegal ini sangat lemah. Pelaku pencurian benda cagar budaya juga tak pernah dijerat dengan sanksi hukum. Padahal sesuai UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, seseorang yang tidak melaporkan temuan cagar budaya bisa dikenai pidana 5 tahun penjara dan atau denda Rp 500 juta. Sedangkan pelaku pencurian benda cagar budaya bisa dipenjara maksimal 10 tahun dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan, Jawa Timur, Aris Soviyani, saat dikonfirmasi Tempo mengatakan dia masih menelusuri dugaan penjualan empat lempeng prasasti. "Sampai hari ini kami belum tahu siapa kolektor yang menjual prasasti itu," kata dia saat dihubungi Rabu, 6 November 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar