![](http://l2.yimg.com/bt/api/res/1.2/hTQvCV5TPi_Yh8Ppm3chhw--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYwMA--/http://l.yimg.com/dh/ap/default/131107/rudi_garcia_getty_claudio_villa.jpg)
Pendukung AS Roma pantas meradang saat musim 2012/2013 berakhir. Pasalnya tim mereka mengulangi pencapaian musim sebelumnya, yaitu menduduki posisi tujuh klasemen akhir Liga Italia Seri A. Kekalahan atas rival sekota Lazio pada final Coppa Italia juga makin menambah kepedihan. Mereka telah mendatangkan banyak pemain mahal, namun selama itu pula mereka harus rela menyaksikan Il Lupo gagal lolos ke ajang antar klub Eropa. Musim lalu bahkan mereka lalui dengan dua nahkoda yaitu Zdenek Zeman dan Aurelio Andreazzoli.
Manajemen AS Roma kemudian mengambil langkah yang kurang populer di mata pendukung namun rasional dari segi keuangan, yaitu menjual pemain-pemain terbaik mereka. Erik Lamela, Pablo Osvaldo dan Marquinhos yang menjadi pemain kunci di lini depan dan belakang dilepas dengan nilai total 75 juta euro. Sebagai gantinya, Roma mendatangkan Kevin Strootman, Mehdi Benatia, Gervinho dan Adem Ljajic yang (kecuali Strootman) di atas kertas tidaklah sementereng tiga nama yang dilepas tersebut.
Dari sisi kepelatihan, Roma juga gagal mendapatkan target utama mereka yaitu Massimiliano Allegri yang memilih untuk tinggal di Milan. Setelah menimbang kandidat lain seperti Laurent Blanc, Walter Sabatini sebagai manajer umum kemudian menjatuhkan pilihan pada pelatih yang sebelumnya menangani Lille, Rudi Garcia. Tanpa terlalu banyak kehebohan, bulan Juni 2013 lalu Garcia resmi menandatangani kontrak yang akan mengikatnya di klub ibukota Italia tersebut selama dua tahun dengan opsi perpanjangan satu tahun.
Profil Singkat Rudi Garcia
Siapakah Rudi Garcia? Dari namanya saja kita dapat mengetahui bahwa ia memiliki darah Spanyol. Ayah Garcia yaitu Jose adalah seorang ekspatriat asal Spanyol yang menjadi pemain profesional di klub Sedan dan Dunkerque. Kakek dari Garcia berasal dari wilayah Andalusia, namun ia hijrah ke Prancis kala perang sipil melanda Spanyol tahun 1936 hingga 1939.
Melihat rekam jejak karirnya sebagai pemain, torehan Garcia tidaklah istimewa. Karir profesionalnya hanya berusia 9 tahun lantaran cedera parah pada punggung dan lutut yang ia alami. Ia juga hanya bermain di klub-klub semenjana seperti Caen, Martigues dan termasuk Lille yang baru musim lalu selesai dilatihnya.
Berbeda dengan perjalanannya sebagai sebagai pemain, petualangan Garcia sebagai pelatih sebenarnya lebih menarik. Ia sempat mencoba berbagai posisi dalam staf kepelatihan seperti fisioterapi, pemandu bakat hingga asisten pelatih. Di luar kegiatan kepelatihan, Garcia bahkan pernah menjadi komentator. Dengan bekal pengalaman mengerjakan hal-hal berbeda inilah pengetahuan Garcia akan seluk beluk klub sepak bola berkembang pesat.
Posisi sebagai pelatih utama akhirnya ia dapatkan di klub Saint Etienne. Sayangnya, karir Garcia di klub dengan ciri warna hijau ini tidak berlangsung mulus karena permasalahan internal yang melanda klub ini membuat mereka harus terdegradasi tahun 2001 lalu. Garcia kemudian menangani Dijon, klub yang saat itu bermain di kompetisi kasta kedua Prancis. Di klub inilah Garcia mulai menunjukkan potensi. Musim 2003/2004, Garcia membawa Dijon promosi ke Ligue 1 dan melaju hingga babak semi final Piala Prancis, hal yang kelak membawanya ke klub Le Mans, Lille hingga kini Roma.
Taktik yang Sesuai dengan Filosofi Klub
Sejak dimiliki oleh pengusaha asal Amerika Serikat, Roma memang selalu menjatuhkan pilihan pada pelatih dengan visi dan idealisme permainan ketimbang prestasi berupa trofi. Dua pelatih sebelumnya yaitu Luis Enrique dan Zeman memang memiliki syarat tersebut. Luis Enrique yang sebelumnya melatih tim Barcelona B berupaya menjadikan Roma memainkan tiki-taka layaknya Barcelona. Sementara itu Zeman sangat terkenal dengan taktik menyerang total. Garcia, yang memiliki filosofi permainan menyerang mirip dengan dua nama tadi ditunjuk Roma dengan harapan mampu mempertontonkan sepak bola yang atraktif, namun dengan pencapaian yang lebih baik.
Saat klub mengumumkan penunjukannya, nama Garcia mungkin masih terdengar asing bagi publik sepak bola Italia khususnya pendukung Roma. Memang sebuah hal yang wajar karena pelatih berusia 49 tahun ini memang belum pernah berkarir di luar Prancis, disamping itu gelar-gelar yang didapatkannya masih berada pada lingkup domestik.
Namun kini, Garcia dianggap sebagai kunci kesuksesan AS Roma yang sejauh ini meraih 31 poin dari 11 laga pembuka kompetisi Seri A, termasuk diantaranya 10 kemenangan beruntun. Tidak disangka, Garcia mampu menjawab segala keraguan yang ditujukan kepadanya.
Kesamaan pola permainan Roma dengan pola favorit Garcia memang berandil pada keberhasilan Roma mengukir sejarah Liga Italia Seri A sebagai tim dengan start terbaik. Tentu masih segar dalam ingatan bagaimana pada musim 2010/2011 lalu Garcia membawa Lille meraih gelar ganda pertama sepanjang sejarah klub dengan permainan menyerang yang atraktif. Saat itu, trio Eden Hazard, Moussa Sow dan Gervinho menjadi poros serangan Lille. Kini di Roma, Garcia memanggil salah satu dari trio tersebut yaitu Gervinho untuk dijadikannya trio penyerang bersama Francesco Totti dan Alessandro Florenzi. Ketiga pemain ini memiliki karakter menyerang yang kuat, namun tidak ada yang berposisi sebagai penyerang yang menunggu bola di kotak penalti, mirip dengan trio penyerang Lille saat itu.
Garcia juga tidak alpa dalam membenahi lini pertahanan. Dibelinya Mehdi Benatia merupakan langkah brilian karena terbukti pemain ini tampil apik sebagai komandan lini belakang. Garcia lantas melapis empat pemain belakangnya dengan duo Daniele De Rossi dan Kevin Strootman. Dua gelandang ini begitu lugas menjalankan perannya sebagai penghalau pertama serangan lawan, sekaligus inisiator serangan balik yang sangat cepat. Hal ini berkontribusi pada pencapaian tim yang baru kebobolan dua kali dari 11 laga yang telah dijalani.
Namun demikian, Garcia menyadari betul bahwa segala pencapaian ini belum apa-apa karena kompetisi masih panjang. Terhentinya rekor kemenangan beruntun di kandang Torino akhir pekan lalu menjadi peringatan bahwa tim-tim pesaing mereka mulai menemukan cara menghentikan Roma.
Manajemen AS Roma kemudian mengambil langkah yang kurang populer di mata pendukung namun rasional dari segi keuangan, yaitu menjual pemain-pemain terbaik mereka. Erik Lamela, Pablo Osvaldo dan Marquinhos yang menjadi pemain kunci di lini depan dan belakang dilepas dengan nilai total 75 juta euro. Sebagai gantinya, Roma mendatangkan Kevin Strootman, Mehdi Benatia, Gervinho dan Adem Ljajic yang (kecuali Strootman) di atas kertas tidaklah sementereng tiga nama yang dilepas tersebut.
Dari sisi kepelatihan, Roma juga gagal mendapatkan target utama mereka yaitu Massimiliano Allegri yang memilih untuk tinggal di Milan. Setelah menimbang kandidat lain seperti Laurent Blanc, Walter Sabatini sebagai manajer umum kemudian menjatuhkan pilihan pada pelatih yang sebelumnya menangani Lille, Rudi Garcia. Tanpa terlalu banyak kehebohan, bulan Juni 2013 lalu Garcia resmi menandatangani kontrak yang akan mengikatnya di klub ibukota Italia tersebut selama dua tahun dengan opsi perpanjangan satu tahun.
Profil Singkat Rudi Garcia
Siapakah Rudi Garcia? Dari namanya saja kita dapat mengetahui bahwa ia memiliki darah Spanyol. Ayah Garcia yaitu Jose adalah seorang ekspatriat asal Spanyol yang menjadi pemain profesional di klub Sedan dan Dunkerque. Kakek dari Garcia berasal dari wilayah Andalusia, namun ia hijrah ke Prancis kala perang sipil melanda Spanyol tahun 1936 hingga 1939.
Melihat rekam jejak karirnya sebagai pemain, torehan Garcia tidaklah istimewa. Karir profesionalnya hanya berusia 9 tahun lantaran cedera parah pada punggung dan lutut yang ia alami. Ia juga hanya bermain di klub-klub semenjana seperti Caen, Martigues dan termasuk Lille yang baru musim lalu selesai dilatihnya.
Berbeda dengan perjalanannya sebagai sebagai pemain, petualangan Garcia sebagai pelatih sebenarnya lebih menarik. Ia sempat mencoba berbagai posisi dalam staf kepelatihan seperti fisioterapi, pemandu bakat hingga asisten pelatih. Di luar kegiatan kepelatihan, Garcia bahkan pernah menjadi komentator. Dengan bekal pengalaman mengerjakan hal-hal berbeda inilah pengetahuan Garcia akan seluk beluk klub sepak bola berkembang pesat.
Posisi sebagai pelatih utama akhirnya ia dapatkan di klub Saint Etienne. Sayangnya, karir Garcia di klub dengan ciri warna hijau ini tidak berlangsung mulus karena permasalahan internal yang melanda klub ini membuat mereka harus terdegradasi tahun 2001 lalu. Garcia kemudian menangani Dijon, klub yang saat itu bermain di kompetisi kasta kedua Prancis. Di klub inilah Garcia mulai menunjukkan potensi. Musim 2003/2004, Garcia membawa Dijon promosi ke Ligue 1 dan melaju hingga babak semi final Piala Prancis, hal yang kelak membawanya ke klub Le Mans, Lille hingga kini Roma.
Taktik yang Sesuai dengan Filosofi Klub
Sejak dimiliki oleh pengusaha asal Amerika Serikat, Roma memang selalu menjatuhkan pilihan pada pelatih dengan visi dan idealisme permainan ketimbang prestasi berupa trofi. Dua pelatih sebelumnya yaitu Luis Enrique dan Zeman memang memiliki syarat tersebut. Luis Enrique yang sebelumnya melatih tim Barcelona B berupaya menjadikan Roma memainkan tiki-taka layaknya Barcelona. Sementara itu Zeman sangat terkenal dengan taktik menyerang total. Garcia, yang memiliki filosofi permainan menyerang mirip dengan dua nama tadi ditunjuk Roma dengan harapan mampu mempertontonkan sepak bola yang atraktif, namun dengan pencapaian yang lebih baik.
Saat klub mengumumkan penunjukannya, nama Garcia mungkin masih terdengar asing bagi publik sepak bola Italia khususnya pendukung Roma. Memang sebuah hal yang wajar karena pelatih berusia 49 tahun ini memang belum pernah berkarir di luar Prancis, disamping itu gelar-gelar yang didapatkannya masih berada pada lingkup domestik.
Namun kini, Garcia dianggap sebagai kunci kesuksesan AS Roma yang sejauh ini meraih 31 poin dari 11 laga pembuka kompetisi Seri A, termasuk diantaranya 10 kemenangan beruntun. Tidak disangka, Garcia mampu menjawab segala keraguan yang ditujukan kepadanya.
Kesamaan pola permainan Roma dengan pola favorit Garcia memang berandil pada keberhasilan Roma mengukir sejarah Liga Italia Seri A sebagai tim dengan start terbaik. Tentu masih segar dalam ingatan bagaimana pada musim 2010/2011 lalu Garcia membawa Lille meraih gelar ganda pertama sepanjang sejarah klub dengan permainan menyerang yang atraktif. Saat itu, trio Eden Hazard, Moussa Sow dan Gervinho menjadi poros serangan Lille. Kini di Roma, Garcia memanggil salah satu dari trio tersebut yaitu Gervinho untuk dijadikannya trio penyerang bersama Francesco Totti dan Alessandro Florenzi. Ketiga pemain ini memiliki karakter menyerang yang kuat, namun tidak ada yang berposisi sebagai penyerang yang menunggu bola di kotak penalti, mirip dengan trio penyerang Lille saat itu.
Garcia juga tidak alpa dalam membenahi lini pertahanan. Dibelinya Mehdi Benatia merupakan langkah brilian karena terbukti pemain ini tampil apik sebagai komandan lini belakang. Garcia lantas melapis empat pemain belakangnya dengan duo Daniele De Rossi dan Kevin Strootman. Dua gelandang ini begitu lugas menjalankan perannya sebagai penghalau pertama serangan lawan, sekaligus inisiator serangan balik yang sangat cepat. Hal ini berkontribusi pada pencapaian tim yang baru kebobolan dua kali dari 11 laga yang telah dijalani.
Namun demikian, Garcia menyadari betul bahwa segala pencapaian ini belum apa-apa karena kompetisi masih panjang. Terhentinya rekor kemenangan beruntun di kandang Torino akhir pekan lalu menjadi peringatan bahwa tim-tim pesaing mereka mulai menemukan cara menghentikan Roma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar